Sabtu, 28 Januari 2012

Hidup Bagai Roda Berputar

         Saat tetes embun mengawali pagi, Aku terbangun dari tidur nyenyakku. Tepat pada pukul 06.00 Aku bergegas untuk mandi. Kami memang sudah merencanakan untuk mengisi weekend kali ini dengan pergi berekreasi. Papa mengajak ke Gua Maria Tritis dan Pantai Ngobaran, tepatnya di daerah Wonosari. Aku sangat gembira akan hal itu karena kami jarang berpergian untuk sekedar menjernihkan pikiran. Waktu pun terus berputar. “Ayo, mandinya cepetan nanti keburu siang, jalanan macet!” tegas Mama dari luar kamar mandi. “Iya Ma, bentar!” sahutku kemudian. Sunyinya di pagi buta itu terselip secercah harapan untuk hidup yang lebih baik.

        Seperti hari Minggu biasanya, Mbak Wati yang membantu pekerjaan rumah kami libur kerja sehingga segala sesuatu harus kami lakukan sendirian. Mama sibuk di dapur untuk mempersiapkan makan pagi dan bekal untuk kami berekreasi, sedangkan di sudut lain Papa dan Rio menjaga adik kami yang baru berusia dua tahun. Mereka jalan – jalan pagi di sekitar rumah. Kesibukan di pagi itu diiringi dengan sahutan kicau burung yang sangat merdu. Setelah Aku selesai mandi, Aku membantu Mama menyapu lantai. Betapa ringannya pekerjaan itu jika dilakukan bersama – sama serta penuh suka cita. Saat itu aku termenung sejenak, Aku sempat membayangkan di kala pagi hari biasanya. Aku sering begitu saja meninggalkan tempat tidurku, membiarkan selimut yang tergelar lebar di atas kasur, dan bantal guling yang tidak tertata.  Aku selalu mengandalkan Mbak Wati untuk merapikannya.
Setelah semuanya siap kami segera berangkat. Di dalam mobil kami sarapan bersama. “Kamu mbok coba latihan nyuci baju apa masak gitu kalau Minggu, kan mumpung libur,” usul Mama sambil tersenyum. “Iya Ma, tapi Aku nggak bisa cara masak tu gimana, apalagi nyuci baju!” gerutuku. “ Ya latihan lah! Dulu Mama waktu masih sekolah juga gitu… Tiap hari bangun pagi bantu orangtua dulu, terus nanti baru berangkat sekolah. Kalau pulang sekolah juga sama, bantu cuci piring dulu nanti baru ngerjain PR,” cerita Mama. “Ya tapi jaman sekarang sama dulu kan beda, Ma!” tegasku dengan penuh percaya diri. “Ya memang sih, tapi apa salahnya sih kalau kamu latihan dari sekarang, kamu semakin lama kan juga tambah dewasa, masak kamu mau tergantung sama Mama terus? Padahal kamu cewek lagi!” seru Mama dengan muka menyindir. “Hmmm, iyadeh Ma… besok aku coba latihan,” ungkapku. “Nah gitu dong…” ucap Mama sambil tertawa. 
Selama perjalanan kami melihat banyak hal, Aku melihat orang yang terlantar di jalanan, mulai dari balita hingga usia tua. Aku sangat merasa iba pada mereka. Di setiap sisi jalan terdengar suara keplokan tangan dari anak – anak yang polos itu, tangisan bayi yang digendong orangtuanya di tengah terik matahari dan polusi kendaraan yang begitu menyengat.  Mereka lakukan itu semua demi sesuap nasi dan sejejak langkah kehidupan. Dengan modal kemampuan yang pas – pasan mereka juga bisa membuktikan bahwa mereka bisa berusaha dengan tangan mereka sendiri walaupun belum semaksimal seperti kita. “Itu coba kamu lihat, anak kecil aja udah disuruh kerja sama orangtuanya… Harusnya kamu bersyukur bisa diberi kehidupan yang layak, setidaknya lebih beruntung dari mereka,” terang Papa kepada kami. “Iya Pa, kasian… Harusnya mereka bisa belajar tapi karena kondisi yang tidak mendukung mereka rela untuk menyingkirkan masa belajar dan bermainnya demi uang,” jawab Rio. “Makanya kamu harus bersyukur, nggak boleh ngeluh terus… Itu kan resiko hidup,” terang Papa. “Iya Pa!” jawab kami.
Tiba – tiba di tengah perjalanan perasaanku tidak enak. Aku sudah mempunyai bayangan  seperti akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di dalam angan – anganku peristiwa itu akan dialami oleh seorang perempuan, tapi Aku tidak tahu siapa orangnya. Aku jadi takut kalau – kalau itu akan terjadi pada salah satu anggota keluargaku. Lalu Aku berdoa, memohon agar kami sekeluarga diberi keselamatan selama perjalanan sehingga bisa selamat sampai tempat tujuan kami. Aku baru bisa merasakan lega setelah selesai berdoa.

         Tak terasa ternyata kami sudah sampai di daerah Wonosari. Jalannya berkelok – kelok dan banyak tanjakan. Lalu kami terjebak macet di sebuah jalan tikung serta tanjakan, kami berpikir bahwa karena hari libur sehingga jalannya ramai. Ternyata di depan ada kerumunan orang dan polisi di tengah – tengah jalan. “Oh… Itu ada tabrakan ya, Pa?” tanya Rio pada Papa. “Iya… Wah, kasian… Kok sampe ditutupi pusri segala ya?” tanya Papa heran. “Wah, paling orangnya meniggal itu! Sampe ditutupi segala gitu kok,” seru Mama. Para polisi melambai – lambaikan tangan dan mengatur arus lalu lintas. Setelah kami mendapat giliran untuk jalan, kami melihat korbannya yang sudah tak berdaya tergeletak menyimpang di tengah jalan. Betapa mirisnya hati ini setelah melihat kejadian itu. Aku melihat si korban itu tepat di sebelahku setelah mobil kami jalan. Aku menengok ke arah kiri, terlihat seorang wanita yang terbengkalai di tengah jalan dengan kondisi kepala yang hancur serta seisi kepalanya keluar dan tercecer di tengah panasnya aspal. Melihat hal itu Aku langsung shock  dan tidak bisa berkata – kata lagi. “Ya ampun!” teriak Mama dengan rasa terkejut bercampur takut.  Terlihat juga anggota keluarganya yang menangis tersedu – sedu. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan peristiwa kecelakaan tersebut. “Nah, itulah resiko orang di jalan, nggak tau apa yang akan terjadi. Hidupnya cuma ditentukan dalam sekejap,” ujar Mama pada kami. Sekujur tubuhku dingin membeku karena terbayang kejadian tadi. “Berarti hidup itu bagaikan roda yang berputar, kadang kita berada di bawah kadang juga di atas. Kita juga nggak tau seberapa panjang umur kita,” tambah Papa. Aku terus termenung dan mencoba untuk meresapi perkataan kedua orangtuaku. Sebenarnya Aku sangat lelah dan ngantuk, tapi Aku terus menahan rasa itu karena Aku takut jika terjadi sesuatu.
Waktu terus berjalan, kami pun akhirnya sampai di Gua Maria Tritis. Di parkiran kami langsung disambut oleh ibu – ibu penyedia jasa payung, kami diantar menuju gua, jalannya sangat jauh dan curam. Di tengah teriknya mentari kami menjejakkan kaki di atas jalan bebatuan. Ternyata di Gua Tritis sedang ada misa Bulan Maria, akhirnya kami pun mengikuti misa walaupun sudah terlambat beberapa menit. Di sana Aku ketemu Dela anak kelas 8C dan Erwin. Tak lupa Aku juga mendoakan orang yang meninggal akibat kecelakaan tadi. Semoga amal ibadahnya dapat diterima dan mendapatkan tempat yang layak di sisi – Nya serta keluarganya selalu diberikan ketabahan dan bisa menerima sebuah kenyataan hidup yang memang harus dijalani.

          Setelah selesai misa kami segera naik menuju ke tempat parkir. Saat perjalanan mendaki bebatuan tiba – tiba ada seseorang yang memanggil namaku, ternyata itu Miss Lintang. Lalu aku membalas menyapa, Miss Lintang bersama calon suaminya baru saja mengikuti misa dan akan segera pulang. Kami pun tak enggan untuk singgah di gubug kecil di tepi jalan setapak untuk sekedar mencicipi hidangan pecel. Setelah perut kenyang, kami segera melanjutkan perjalanan menuju Pantai Ngobaran.
Tempatnya memang cukup dekat dengan Gua Tritis. Setelah sampai kami langsung menuju gubug – gubug kecil yang berada di tepi atas pantai. Ombak di Pantai Ngobaran sangat besar sehingga para pengunjung tidak diperbolehkan turun ke pantai. Kita hanya bisa melihat keindahan pantai dari atas. Kami beristirahat di gubug itu, di sekeliling gubug juga terdapat patung dewa – dewa serta beberapa tokoh wayang. Pemandangan di sekitar pantai sangat indah, apalagi gulungan ombak yang saling berkejar – kejaran itu. Tiba – tiba Mama mengatakan sesuatu, “Eh kamu udah ngucapin ke Papa belum?”  “Loh emang ada apaan kok ngucapin?” tanyaku heran. “Lha kan Papa hari ini ulang tahun! Masak lupa sih?” jawab Mama tak percaya. “Oh… Hari ini Papa ultah ya Ma?” sahutku sambil tertawa. “Iya, ngucapin dulu sana!” seru Mama. Hari ini Aku benar – benar lupa kalau Papa ulang tahun padahal Aku tahu kalau hari itu tanggal 16 Oktober. “Ya ampun ada yang ulang tahun tapi kok anaknya sampai lupa nggak ngucapin… Hmm,” gerutu Papa sambil tersenyum.
Karena hari sudah sore, kami segera pulang. Sepanjang perjalanan kami melihat pepohonan yang kering dan sepertinya tidak segar karena berada di daerah pegunungan kapur. Serasa seperti di luar negeri, daun – daunnya putih seperti diselimuti salju. Kemudian Aku ingat kejadian tadi, Aku masih trauma. Aku selalu melihat di setiap sudut jalan dan rasa cemas bercampur takut itu selalu menghantuiku. Aku takut jika nanti melewati jalan yang menjadi Tempat Kejadian Perkara. Aku terus berdoa, berdoa, dan berdoa… Lalu terdengar suara klakson mobil tiga kali ( tin...tin...tin… ) itu tanda permisi kita jika akan melewati suatu tempat yang bisa dibilang “mistis”. “Hahhh, lega juga akhirnya bisa melewati sebuah tantangan yang begitu menguras pikiran,” gerutuku sambil mengelus dada. Dan akhirnya beberapa jam kemudian kami pun sampai di rumah dengan selamat.

        Petualanganku pada hari ini dapat memberikan pengalaman baru dan menjadikan sumber referensi untuk menginspirasi hidup agar lebih berguna bagi orang lain. Kita perlu belajar dari pengalaman hidup karena hidup adalah sebuah cerita kisah, memang sulit tapi harus dijalani sebab itu merupakan resiko dari sebuah kehidupan. Kadang orang bilang, hidup itu rasanya nano – nano kadang manis kadang masam kadang juga pahit. Manis jika kita lakukan dengan senyuman, masam jika dilakukan dengan muka muram, dan pahit jika dijalani dengan terpaksa. Perlu kita tahu bahwa hidup itu juga bagaikan roda yang berputar. Terkadang kita berada di bawah dan terkadang juga di atas. Hidup tidak sepenuhnya enak, kadang mendapat cemoohan juga. Setiap orang mempunyai keberuntungan yang berbeda dan itu semua sudah diatur oleh Tuhan. Yang terpenting jadilah diri sendiri yang bisa bermanfaat bagi orang lain.